Senin, 01 Agustus 2011

Education for Sustainable Development (EfSD)

Education for Sustainable Development (EfSD)

Education for Sustainable Development (EfSD) menjadi istilah yang santer disebarkan ke berbagai media massa oleh Depdiknas. Namun sebetulnya konsep keberlanjutan atau keajegan (sustainable) ini sudah dikenal sejak dekade 1970-an, khususnya di bidang lingkungan, dimasyarakatkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Education for Sustainable Development atau disingkat EfSD  
adalah pola pemanfaatan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap memelihara lingkungan, sehingga kebutuhan itu bukan hanya terpenuhi hari ini tetapi juga untuk generasi mendatang.
EfSD ini pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Hans J. A. Van Ginkel, mantan rektor United Nations (UN) University dan Staf Ahli Sekjen UN.
EfSD ini menekankan pada 3 pilar yaitu ekonomi, ekologi atau lingkungan, dan sosial.  Ketiga aspek tersebut saling beririsan, tidak terpisah-pisah.



Latar Belakang
Dapat dipastikan, semua orang tahu lingkungan. Manusia tanpa kecuali dikitari oleh lingkungan. Artinya, langsung tak langsung, manusia mempengaruhi lingkungan dan juga pasti dipengaruhi oleh lingkungannya.
Faktanya, kebanyakan manusia enggan memedulikan lingkungan. Malah kebanyakan manusia yang tidak peduli lingkungan itu adalah manusia kalangan atas seperti para pejabat. Satu hal yang dilupakan para pejbat itu ialah mengelola lingkungan secara bersahabat. Mereka tidak optimal mengelola EQ tetapi hanya berbekal kecerdasan otak (IQ) tetapi miskin kecerdasan akhlak.
Banyak orang pintar yang berjabatan dan berpangkat justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging).
Mereka tidak merasa menjadi pemangku fungsi lingkungan lantaran tidak maksimal pemahamannya atas fungsi lingkungan. Atau, mereka memang belum tahu peran penting kelestarian fungsi lingkungan sehingga berpendapat bahwa lingkungan boleh dieksploitasi seenak perutnya.
Namun kalau berpikir positif, perilaku di atas masih bisa diubah dan belum terlambat karena bisa belajar Pendidikan Lingkungan secara informal. Sebab, ciri khas pendidikan (tarbiyah, education) ialah seumur hidup, sampai akhir hayat.
Pendidikan memasukkan dua kategori besar, yaitu sains (science) dan teknologi (technology). Keduanya saling dukung untuk menghasilkan produk berupa barang dan jasa yang dapat melancarkan kegiatan manusia. Produk inilah yang dapat menghasilkan nilai positif bagi lingkungan sekaligus menimbulkan dampak negatif berupa masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi dapat berujung pada derita manusia. Tetapi bisa juga berujung pada kebahagiaan manusia lantaran sains, teknologi, lingkungan merupakan segitiga sama sisi yang masing-masing berperan dalam kehidupan manusia. Terminologi yang digunakan ialah Trilogi Pendidikan {sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment)}.
 Secara ekopolitis, Pendidikan Lingkungan kali pertama dikenalkan pada konferensi International Union for Concervation of Nature and Natural Resourses atau Perserikatan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam pada 1971.
Bagaimana di Indonesia? Dalam versi pemerhati lingkungan sejak dulu sampai sekarang (2009) nyaris tidak ada politisi hijau di Indonesia. Artinya, politisi dan birokrat kita hendaklah belajar kearifan ekologi kepada kaum yang dianggap “tak terdidik” yang tinggal jauh di pelosok.
Tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, selalu berwawasan lingkungan kalau akan membuka hutan. Meskipun menebang pohon dan membabatnya, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola seperti ini membantu menahan tanah agar tidak erosi atau merusak tanaman.
Tidakkah politisi dan birokrat Indonesia belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat atas lingkungan memang kalah oleh para “tradisionalis” itu? Adakah politisi-birokrat yang tak sekedar peduli lingkungan dalam retorika politiknya belaka, terutama menjelang pemilu? Adakah partai politik yang tak sekadar proforma membuat biro atau divisi lingkungan? Adakah anggota dewan yang berpolemik dengan birokrat, pemerintah menyangkut masalah pelestarian fungsi lingkungan? Yang terjadi malah sejumlah politisi, baik di pusat maupun di daerah, terlibat dan melindungi pembalak liar kayu hutan dan berada di balik alih fungsi hutan dan lahan di daerah-daerah di Indonesia.

Manfaat dan tujuan dari EfSD adalah
1.     Terbangun kapasitas komunitas/bangsa yang mampu membangun, mengembangkan, dan mengimplementasikan rencana kegiatan yang mengarah kepada sustainable development.
2.      Mendidik manusia agar sadar tentang individual responsibility yang harus dikontribusikan, menghormati hak-hak orang lain, alam dan diversitas, dapat menentukan pilihan/keputusan yang bertanggungjawab, dan mampu mengartikulasikan semua itu dalam tindakan nyata.
3.      Menumbuhkan komitmen untuk berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih aman dan nyaman, baik sekarang maupun di masa mendatang.

Ada beberapa metode yang dapat ditempuh dan dilaksanakan berkesinambungan dalam upaya penerapan konsep EfSD secara berulang-ulang, yaitu :
1.       Kuliah, klasikal
2.       Keteladanan
3.       Ceramah
4.       Diskusi
5.       Seminar
6.       Percontohan
7.       Spanduk

Sumber :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar